Senin, 19 Januari 2009

PERENCANAAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

1. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran merupakan suatu system atau proses membelajarkan subjek belajar atau pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar pembelajar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Sebagai sebuah system, pembelajaran terdiri atas sejumlah komponen. Tujuan, materi, strategi, metode, media, pengorganisasian kelas, evaluasi dan tindak lanjut merupakan komponen-komponen yang membangun system pembelajaran. Sebagai sebuah proses, pembelajaran akan dimulai dari merencanakan program, menyiapkan perangkat, melaksanakan kegiatan dan diakhiri dengan penilaian atau evaluasi dan tindak lanjut.

Sehubungan dengan merencanakan program, sangat penting bagi seorang guru memperhatikan berbagai variasi atau model perencanaan pembelajaran. Meskipun tujuannya sama, prosedur penyusunan perencanaan dapat berbeda, bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, misalnya system pendidikan, guru, keadaan kebahasaan siswa.

Bertolak dari pemikiran di atas, model-model apa sajakah yang dapat dipakai oleh guru dalam merencanakan pembelajaran? Bagaimana prosedur merencanakan pembelajaran yang ditempuh oleh masing-masing model?

2. Model-Model Perencanaan Pembelajaran

a. Model Tyler

Menurut Tyler prinsip-prinsip pemilihan pengalaman belajar harus dapat memberikan kesempatan pembalajar untuk mengalami tingkah laku yang disebut tujuan pembelajaran khusus (TPK). Pengalaman belajar harus dipilih dengan baik sehingga memberikan kepuasan pembelajar. Untuk itu Tyler mengemukakan model yang berproses dimulai dari menentukan tujuan pembelajaran, seleksi, organisasi, dan evaluasi pengalaman belajar.

Secara procedur, Model Tyler dikembangkan dimulai dengan empat pertanyaan utama, yaitu:

1) Tujuan pendidikan apa yang harus diperoleh?

2) Pengalaman-pengalaman belajar apa yang dapat disediakan sehingga tujuan tercapai?

3) Bagaimanan pengalaman belajar dapat diorganisasi secara efektif?

4) Bagaimana kita dapat memutuskan apakah tujuan dapat dicapai?

b. Model Taba

Taba (dalam Gafur, dalam Depdiknas, 2005) berpendapat bahwa sebaiknya perencanaan disusun oleh guru sendiri. Guru harus memulai dengan membuat unit-unit belajar mengajar melalui delapan langkah, yaitu

1) diagnosis kebutuhan, yaitu menentukan kebutuhan mereka karena perencanaan disusun untuk mereka,

2) perumusan tujuan yang akan dicapai,

3) seleksi materi, yakni pokok bahasan yang akan dipelajari, yang mengacu pada tujuan.

4) pengorganisasian materi, yakni penyusunan materi sesuai dengan tingkatan dan urutannya

5) seleksi pengalaman belajar, yakni metodologi dan strategi yang menuntut pembelajar terlibat dengan bahan ajar

6) organisasi kegiatan belajar, yaitu guru mengadaptasi strategi untuk siswanya

7) evaluasi, yakni menentukan apa yang akn dievaluasi dan alat apa yang dipergunakan

8) pengecekan keseimbangan dan urutan, yakni guru perlu mencari konsistensi antara berbagai bagian unit-unit belajar-mengajar untuk kelancaran pengalaman belajar dan keseimbangan jenis belajar.

c. Model Dick & Carey

Langkah-langkah yang dilakukan menurut model Dick & Carey adalah

1) mengidentifikasi tujuan pembelajaran umum (TPU)

2) melaksanakan analisis isntruksional, yakni menentukan cara belajar yang diperlukan siswa

3) mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa

4) menuliskan tujuan isntruksional khusus (TPK) berdasarkan analisis instruksional dan rumusan tujuan pembelajaran umum

5) mengembangkan butir-butir tes yang kriterianya sudah ditentukan. Tes yang disusun harus dapat mengukur kemampuan siswa.

6) mengembangkan strategi isntruksional yang mencakup: kegiatan awal, penyajian informasi, latihan, umpan balik, tes dan kegiatan berikutnya.

7)mengembangkan dan memilih materi pengajaran, penjelasan siswa, tes dan petunjuk guru

8) menyusun dan melaksanakan evaluasi formatif yang dmaksudkan untuk mengumpulkan data yang dipakai untuk mengidentifikasi bagaimana memperbaiki pembelajaran

9) merevisi berdasarkan data yang diperoleh dari evaluasi formatif

10) melaksanakan evaluasi sumatif.

d. Model Kemp

Desain model Kemp merupakan jawaban pertanyaan 1) Apa yang harus dipelajari? (tujuan), 2) Prosedur dan sumber-sumber apa yang sesuai untuk mencapai tingkatan belajar yang diharapkan? (kegiatan dan sumber), 3) Bagaimana kita tahu bahwa tujuan tercapai? (evaluasi).

Berdasar pertanyaan di atas disusunlah perencanaan sebagai berikut:

1) tentukan tujuan, daftar topic, rumuskan tujuan umum dari setiap objek,

2) daftarlah karakteristik siswa yang penting karena untuk mereka perencanaan ini disusun,

3) rumuskan tujuan isntruksional khusus dalam bentuk pemerolehan belajar yang dapat diukur,

4) daftarlah isi/ materi yang menunjang setiap tujuan,

5) kembangkan pretes untuk mengetahui latar belakang pengetahuan atau pengetahuan awal,

6) seleksi kegiatan belajar mengajar dan sumber-sumber pengajaran,

7) koordinasikan sarana-sarana pendukung seperti biaya, tenaga, fasilitas dan jadwal untuk melaksanakan rencana pembelajaran,

8) lakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa.

e. Model Instruksional Development Institute (IDI)

Model ini terdiri atas tiga tahap, yakni

1) tahap penentuan (define)

Yang dilakukan dalam tahap ini adalah a) mengidentifikasi masalah, b) mengnalisis latar belakang siswa, kondisi sekolah dan sumber, c) pengelolaaan kelas: tugas, tanggung jawab dan jadwal,

2) tahap pengembangan (develop)

Yang dilakukan dalam tahap ini adalah a) identifikasi tujuan khusus, b) menentukan metode, media dan sumber, c) membuat prototype: paket pelajaran dan instrument evaluasi

3) tahap penilaian (evaluation)

Yang dilakukan dalam tahap ini adalah a) testing prototype dalam rangka evaluasi dan mengumpulkan data, b) menganalisis hasil: tujuan, metode, dan teknik evaluasi, c) implementasi : review, revisi dan tindak lanjut.

f. Model Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)

Model PPSI menunjukkan bahwa pengajaran merupakan suatu system dan berorientasi pada tujuan. Lima langkah pokok pengembangannya adalah sebagai berikut:

1) merumuskan tujuan instruksional khusus (TIK/ TPK)

Merumuskan TIK/ TPK harus memenuhi empat criteria: a) menggunakan istilah operasional, b) berbentuk hasil belajar, c) berbentuk tingkah laku yang terukur, d) hanya satu jenis tingkah laku.

2) mengembangkan alat evaluasi

Guru menentukan jenis tes yang akan digunakan merencanakan pertanyaan untuk masing-masing tujuan.

3) menentukan kegiatan belajar mengajar

Guru merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan dan menetapkan kegiatan belajar yang perlu dan tak perlu ditempuh.

4) merencanakan program

Guru merumuskan materi pelajaran, menetapkan metode, menentukan alat pelajaran yang akan dipakai dan menyusun jadwal.

5) melaksanakan program

Guru mengadakan tes awal, menyampaikan materi, mengadakan tes akhir dan perbaikan.

g. Model Satuan Pelajaran

Model SP dikembangkan melalui PPSI. Merupakan rencana pembelajaran untuk satu pokok bahasan dalam waktu tertentu untuk mencapai TPU/ TPK. Model ini dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa proses belajar mengajar merupakan suatu system yang harus terarah pada pencapaian tujuan. Tujuan harus jelas agar penyusunan bahan, alat evaluasi, perencanaan proses pembelajaran dapat dilaksanakan lebih terarah.

Kerangka Satuan Pelajaran menurut model ini adalah sebagai berikut

1) Identifikasi program, meliputi

a) bidang pengajaran

b) mata pelajaran/ subbidang pelajaran

c) pokok bahasan

d) kelas

e) semester (cawu)

f) waktu (berapa jam pelajaran)

2) Komponen-komponen SP

a) Tujuan Instruksional/ Pembelajaran Umum (TIU/ TPU)

b) Tujuan Instrukional/ Pembelajaran Khusus (TIK/ TPK)

c) Materi Pelajaran

d) Kegiatan Belajar Mengajar

e) Alat dan Sumber Pelajaran

f) Evaluasi

h. Model PBTE

Pengembangan program isntruksional dilaksanakan dengan pendekatan sistemik yang prosedurnya adalah sebagai berikut:

1) Merumuskan asumsi-asumsi secara jelas, eksplisit dan khusus.

2) Mengidentifikasi kompetensi.

3) Merumuskan tujuan-tujuan secara dskriptif.

4) Menentukan tingkat-tingkat criteria dan jenis assement.

5) Pengelompokan dan penyusunan tujuan-tujuan pelajaran berdasarkan urutan psikologis untuk mencapai maksud-maksud instruksional.

6) Mendesain strategi instruksional.

7) Mengorganisasi system pengelolaan kelas.

8) Mencobakan program.

9) Menilai desain instruksional.

10) Memperbaiki kembali program.

i. Perencanaan Pengajaran Sistemis

Langkah-langkah perencanaan dalam model ini adalah sebagi berikut:

1) Identifikasi tugas-tugas

2) Analisis tugas

3) Penetapan kemampuan

4) Spesifikasi pengetahuan, keterampilan dan sikap

5) Identifikasi kebutuhan pendidikan dan latihan

6) Perumusan tujuan

7) Criteria keberhasilan

8) Organisasi sumber-sumber belajar

9) Pemilihan strategi pengajaran

10) Uji lapangan program

11) Pengukuran reliabilitas program

12) Perbaikan dan penyesuaian program

13) Pelaksanaan program

14) Monitoring program

j. Model Davis

Teknik merancang system belajar berlangsung dalam tahap-tahap sebagai berikut:

1) Menetapkan status system pengajaran

2) Merumuskan tujuan-tujuan pengajaran

3) Merencanakan dan melaksanakan evaluasi

4) Mendeskrepsikan dan mengkaji tugas

5) Melaksanakan prinsisp-prinsip belajar

k. Model ROPES

Model perencanaan pembelajaran ROPES dikemukakan oleh Hunts. Model ini terdiri atas langkah-langkah:

1. Review

Guru mencoba mengukur kesiapan siswa mempelajari materi dengan melihat pengalaman sebelumnya.

2. Overview

Guru menjelaskan program pembelajaran yang akan dilaksanakan dengan menyampaikan isi secara singkat dan strategi yang akan digunakan.

3. Presentation

Proses pembelajaran sebagaimana yang telah direncanakan.

4. Exercise

Siswa mempraktikkan atau mengemukakan pandangan tentang materi pembelajaran yang telah diperoleh.

5. Summary

Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran sebagai bentuk penguatan.

3. Simpulan

Dari berbagai model perencanaan pembelajaran yang disajikan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang harus dirumuskan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran adalah:

a. tujuan instruksional (umum dan khusus)

b. penentuan materi

c. langkah-langkah kegiatan belajar mengajar

d. penentuan metode

e. pemilihan media

f. penyusunan evaluasi dan revisi

g. pemberian umpan balik

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra Indonesia.

Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem . Jakarta: Bumi Aksara.

Majid, Abdul. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

AZAS-AZAS KURIKULUM

ASAS-ASAS KURIKULUM

1. Latar Belakang

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pendidikan. Tanpa kurikulum, proses pendidikan tidak akan berjalan mulus. Kurikulum diperlukan sebagai salah satu komponen untuk menentukan tercapainya tujuan pendidikan. Di dalam kurikulum terangkum berbagai kegiatan dan pola pengajaran yang dapat menentukan arah proses pembelajaran. Itulah sebabnya, menelaah dan mengkaji kurikulum merupakan suatu kewajiban bagi guru.

Berbagai pendapat mengenai kurikulum telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (2007:3)

Senada dengan pengertian di atas, Oemar Hamalik (1990:32) menyatakan bahwa kurikulum adalah suatu alat yang amat penting dalam rangka merealisasi dan mencapai tujuan pendidikan sekolah. Dalam arti luas kurikulum dapat diartikan sesuatu yang dapat mempengaruhi siswa, baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Namun, kurikulum haruslah direncanakan agar pengaruhnya terhadap siswa benar-benar dapat diamati dan diukur hasilnya. Adapun hasil–hasil belajar tersebut haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, relevan dengan kebutuhan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, sesuai dengan tuntutan minat, kebutuhan dan kemampuan para siswa sendiri, serta sejalan dengan dengan proses belajar para siswa yang menempuh kegiatan-kegiatan kurikulum.

Sementara itu ,Oliver dalam Oliva (1982: 7-8) menyamakan kurikulum dengan program pendidikan, dan membaginya ke dalam empat elemen dasar, yaitu: (1) program studi, (2) program pengalaman, (3) program pelayanan, dan (4) kurikulum tersembunyi. Kurikulum tersebunyi menurut Oliver adalah nilai-nilai yang diajukan sekolah, perhatian dari guru, tingkat antusiasme para guru, dan iklim fisik serta sosial di sekolah.

Soedijarto mengemukakan bahwa kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan, diorganisasikan untuk ditaati para siswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah diterapkan untuk suatu lembaga pendidikan.

Dari beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa kurikulum merupakan seperangkat pelajaran yang harus diberikan kepada siswa dengan metode tertentu dan pengalaman belajar yang relevan dengan tujuan pembelajaran di bawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum merupakan keseluruhan hasil belajar yang direncanakan dan di bawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum tidak sekadar mempersoalkan sesuatu yang diajarkan, tetapi menyangkut pula bagaimana sebuah mata pelajaran diajarkan, diorganisasikan menjadi pengalaman bermakna bagi siswa.

Kurikulum mengalami perubahan sesuai dengan berkembangnya zaman. Di Indonesia, kurikulum sudah mengalami perubahan beberapa kali. Kurikulum di Indonesia diberi nama sesuai dengan tahun mulai berlakunya. Misalnya kurikulum 1975, 1984, 1994, 2004, dan yang termutakhir adalah kurikulum 2006 yang juga disebut KTSP.

Mulyasa, (2007: 8) mengatakan bahwa KTSP adalah kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum ini dikembangkan berdasarkan Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam Standar Isi merupakan penyempurnaan dari SK dan KD dalam KBK.

Implementasi KTSP sangat dipengaruhi oleh guru sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum. Sebaik apa pun kurikulum, tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya kemampuan guru dalam memahami dan menerapkannya dalam pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, guru harus mampu mengembangkan KTSP dengan mempertimbangkan potensi sekolah, karakteristik sekolah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Di samping itu, dalam mengembangkan KTSP, guru harus memperhatikan asas-asas kurikulum agar KTSP sesuai dengan asas-asas yang dijadikan dasar dalam pengembangan kurikulum secara umum. Adapun asas-asas kurikulum akan dijelaskan pada bagian berikut.

2. Asas-asas Kurikulum

Guru, sebagai pengembang kurikulum dalam skala mikro, perlu memahami kurikulum dan asas-asas yang mendasarinya. Nasution (2008:11-14) menjelaskan bahwa ada empat asas yang mendasari pengembangan kurikulum. Keempat asas tersebut adalah:

a. Asas Filosofis

Sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang “baik”. Faktor “baik” tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita, atau filsafat yang dianut sebuah negara, tetapi juga oleh guru, orang tua, masyarakat, bahkan dunia. Kurikulum mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat suatu bangsa, terutama dalam menentukan manusia yang dicita-citakan sebagai tujuan yang harus dicapai melalui pendidikan formal. Kurikulum yang dikembangkan harus mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Jadi, asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara. Perbedaan filsafat suatu negara menimbulkan implikasi yang berbeda di dalam merumuskan tujuan pendidikan, menentukan bahan pelajaran dan tata cara mengajarkan, serta menentukan cara-cara evaluasi yang ditempuh. Apabila pemerintah bertukar, tujuan pendidikan akan berubah sama sekali. Di Indonesia, penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis negara.

Mengapa filsafat sangat diperlukan dalam dunia pendidikan? Menurut Nasution (2008: 28), filsafat besar manfaatnya bagi kurikulum, yakni:

- filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi, filsafat menentukan tujuan pendidikan.

- dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.

- filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.

- filsafat memberikan kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.

- tujuan pendidikan memberikan petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah tercapai.

- tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar-mengajar, bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai.

b. Asas Psikologi Anak dan Psikologi Belajar

1) Psikologi Anak

Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan anak dapat belajar mengembangkan bakatnya. Selama berabad-abad, anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada orang dewasa. Hal ini tampak dari kurikulum yang mengutamakan bahan, sedangkan anak “dipaksa” menyesuaikan diri dengan bahan tersebut dengan segala kesulitannya. Padahal anak mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Pada permulaan abad ke -20, anak kian mendapat perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Kemudian muncullah aliran progresif, yakni kurikulum yang semata-mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak (child centered curiculum). Kurikulum ini dapat diapandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang diperlukan orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan anak.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dlam pengembangan kurikulum adalah:

Anak bukan miniatur orang dewasa

Fungsi sekolah di antaranya mengembangkan pribadi anak seutuhnya.

Faktor anak harus benar-benar diperhatikan dalam pengembangan kurikulum

Anak harus menjadi pusat pendidikan/sebagai subjek belajar dan bukan objek belajar.

Tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain dari yang lain. Kurikulum hendaknya mempertimbangkan keunikan anak agar ia sedapat mungkin berkembang sesuai dengan bakatnya.

Walaupun tiap anak berbeda dari yang lain, banyak pula persamaan di antara mereka. Maka sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua.

2) Psikologi Belajar

Pendidikan di sekolah diberikan dnegan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak-anak dapat dididik, dpat dipengaruhi kelakuannya. Anak-anak dapat belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, mengubah sikapnya, menerima norma-norma, menguasai sejumlah keterampilan. Soal yang penting ialah: bagaimana anak itu belajar? Kalau kita tahu betul bagaimana proses belajar berlangsung, dalam keadaan yang bagaimana belajar itu memberikan hasil sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan cara seefektif-efektifnya.

Oleh sebab belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain. Pada umumnya tiap teori mengandung kebenaran. Akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan prooses belajar. Jadi, yang mencakup segala gejala belajar dari yang sederhana sampai yang paling pelik. Dengan demikian, teori belajar dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.

Pentingnya penguasaan psikologi belajar dalam pengembangan kurikulum antara lain diperlukan dalam hal:

- seleksi dan organisasi bahan pelajaran

- menentukan kegiatan belajar mengajar yang paling serasi

- merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai. (Nasution, 2008:57)

3. Asas Sosiologis

Anak tidak hidup sendiri terisolasi dari manusia lain. Ia selalu hidup dalam suatu masyarakat. Di situ, ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak maupun sebagai orang dewasa kelak. Ia banyak menerima jasa dari masyarakat dan ia sebaliknya harus menyumbangkan baktinya bagi kemajuan masyarakat.

Tiap masyarakat mempunyai norma-norma, adat kebiasaan yang harus dikenal dan diwujudkan anak dalam pribadinya, lalu dinyatakannya dalam kelakuan. Tiap masyarakat berlainan corak nilai-nilai yang dianutnya. Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaanya. Perbedaan ini harus dipertimbangkan dalam kurikulum. Selain itu, perubahan masyarakat akibat perkembangan iptek merupakan faktor yang benar-benar harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Karena masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kurikulum, masyarakat dijadikan salah satu asas.

d. Asas Organisatoris

Asas ini berkenaan dengan masalah bagaimana bahan pelajaran akan disajikan. Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan, misalnya dalam bentuk broad field atau bidang studi seperti IPA, IPS, Bahasa, dan lain-lain. Ataukah diusahakan hubungan secara lebih mendalam dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran (dalam bentuk kurikulum terpadu). Penganut ilmu jiwa asosiasi akan memilih bentuk organisasi kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran, sedangkan penganut ilmu jiwa gestalt akan cenderung memilih kurikulum terpadu.

3. Simpulan

Dari uraian di atas, ditarik bebrapa simpulan, yaitu:

a. Kurikulum selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

b. Di dalam mengembangkan kurikulum, perlu diperhatikan asas-asas kurikulum, yang meliputi asas filosofis, asas psikologis, asas sosiologis, dan asas organisatoris.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa, E. 2007. KurikulumTingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nasution, S. 2008. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Tim Pustaka Yustisia. 2007. Panduan Lengkap KTSP. Jogjakarta: Pustaka Yustisia.

KOOPERATIF LEARNING

A. Latar Belakang

Dalam dunia pendidikan, paradigma lama mengenai proses belajar mengajar bersumber pada teori (atau mungkin lebih tepatnya, asumsi) tabula rasa Jhon Locke. Locke mengatakan bahwa pikiran seorang anak seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Dengan kata lain, otak seorang anak ibarat botol kosong yang siap di isi dengan segala ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan sang guru. Berdasarkan asumsi ini dan asumsi yang sejenisnya, banyak guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, mengisi botol kosong dengan pengetahuan, mengotak-ngotakkan siswa, dan memacu siswa dalam kompetisi bagai ayam aduan.

Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Kita tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama tersebut. Teori, penelitian, dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa para guru sudah harus mengubah paradigma pengajaran. Pendidik perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan beberapa pokok pemikiran antara lain pengetahuan ditemukan, dan dikembangkan oleh siswa, siswa membangun pengetahuan secara aktif, pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa, dan pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa.

Banyak guru menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan metode belajar kelompok. Mereka telah membagi para siswa dalam kelompok dan memberikan tugas kelompok. Namun, guru-guru ini mengeluh bahwa hasil kegiatan-kegiatan ini tidak seperti yang mereka harapkan. Siswa bukannya memanfaatkan kegiatan tersebut dengan baik untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka, malah memboroskan waktu dengan bermain, bergurau, dan sebagainya. Para siswa pun mengeluh tidak bisa bekerja sama dengan efektif dalam kelompok. Siswa-siswa yang rajin dan pandai merasa pembagian tugas dan penilaian kurang adil, sedangkan siswa yang kurang rajin dan pandai merasa minder bekerja sama dengan teman-temannya yang lebih mampu.

Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai belajar dengan metode cooperative learning. Keinginan baik para guru untuk mengaktifkan siswa perlu dihargai. Namun, para guru juga perlu dibekali dengan latar belakang, landasan pemikiran, dan penerapan metode pembelajaran cooperative learning untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

Berdasarkan hal tersebut di atas , maka penyusun akan memaparkan dalam makalah ini tentang pembelajaran cooperative learning.

B. Model Pembelajaran Cooperative Learning

Falsafah yang mendasari model pembelajaran cooperative learning adalah dalam pendidikan adalah falsafah homoni socius. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah. Tanpa kerjasama, makalah ini tidak akan bisa di susun. Tanpa kerja sama, kehidupan ini sudah punah.

Ironisnya, model pembelajaran cooverative learning belum banyak diterapkan dalam pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan pengajar enggan menerapkan sistem kerja sama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekawatiran bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam grup. Selain itu, banyak orang mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerja sama atau belajar dalam kelompok. Banyak siswa juga tidak senang disuruh bekerja sama dengan yang lain. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam grup mereka, sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam satu grup dengan siswa yang lebih pandai. Siswa yang tekun juga merasa temannya yang kurang mampu hanya menumpang saja pada hasil jerih payah mereka.

Model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.

1. Unsur-Unsur Model Pembelajaran Cooperative Learning

Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa di anggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran cooperative learning harus di terapkan, yaitu saling Ketergantungan Positif, tanggung Jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok.

a. Saling Ketergantungan Positif

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Wartawan mencari dan menulis berita, redaksi, dan tukang ketik mengetik tulisan tersebut.Rantai kerja sama ini berlanjut terus sampai dengan mereka yang di bagian percetakan dan loper surat kabar.Semua orang ini bekerja demi tercapai satu tujuan yang sama,yaitu terbitnya sebuah surat kabar dan sampainya surat kabar tersebut ditangan pembaca.

Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif,pengajar perlu ,menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.Dalam metode Jigsaw, Aronson menyarankan jumlah anggota kelompok dibatasi sampai dengan empat orang saja dan keempat anggota ini di tugaskan membaca bagian yang berlainan. Keempat anggota ini lalu berkumpul dan bertukar imformasi. Selanjutnya, pengajar akan mengevaluasi mereka mengenai seluruh bagian. Dengan cara ini, mau tidak mau setiap anggota merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa berhasil.

b. Tanggung Jawab Perseorangan

Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas dan pola penilaian di buat menurut prosedur model pembelajaran cooprative learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Kunci keberhasilan metode kerja kelompok adalah persiapan guru dalam penyusunan tugasnya.

Berbeda dengan bila guru yang masuk ke kelas dan menugaskan siswanya untuk saling berbagi tanpa persiapan, pelajar yang efektif dalam model pembelajaran cooperative learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa melaksanakan. Dalam teknik Jigsaw yang di kembangkan Aronson misalnya, bahan bacaan dibagi menjadi empat bagian dan masing-masing siswa mendapat dan membaca satu bagian. Dengan cara demikian, siswa yang tidak melaksanakan tugasnya akan di ketahui dengan jelas dan mudah. Rekan-rekan dalam satu kelompok akan menuntutnya untuk melaksakan tugas agar tidak menghambat yang lainnya.

c. Tatap Muka

Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan,dan mengisi kekurangan masing-masing.Setiap anggota kelompok mempunyai latar belakang pengalaman, keluarga, dan sosial-ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok.Sinergi tidak bisa di dapatkan begitu saja dalam sekejap, tetapi merupakan proses kelompok yang cukup panjang. Para anggota kelompok perlu di beri kesempatan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan intraksi pribadi.

d. Komunikasi Antar Anggota

Unsur ini juga menghendaki agar para pembelajar di bekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok,pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggota untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.

Ada kalanya pembelajar perlu diberi tahu secara eksplisit mengenai cara-cara berkomunikasi secara efektif seperti bagaimana caranya menyanggah pendapat orang lain tanpa harus menyinggung perasaan orang tersebut. Masih banyak orang yang kurang sensitif dan kurang bijak sana dalam menyatakan pendapat mereka.Tidak ada salahnya mengajar siswa beberapa ungkapan positif atau sanggahan dalam ungkapan yang lebih halus.

Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok ini juga merupakan proses panjang. Pembelajar tidak bisa di harapkan langsung menjadi komunikator yang andal dalam waktu sekejap. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu di tempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.

e. Evaluasi Proses Kelompok

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengepaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.Waktu evaluasi ini tidak perlu di adakan setiap kali ada kerja kelompok,tetapi bisa di adakan selang beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajar terlibat dalam kegiatan pembelajaran cooperatif learning.

2. Pengelolaan Kelas Cooperative Learning

Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model cooperative learning, yakni pengelompokan, semangat cooperative learning, dan penataan ruang kelas.

a. Pengelompokan

Praktik-praktik sesat dalam pengelompokan di dalam ataupun antar kelas patut di sesalkan. Demi kemudahan,guru ataupun pimpinan sekolah sering membagi siswa dalam kelompok-kelompok homogen berdasarkan prestasi belajar mereka. Praktik ini di kenal dengan ability grouping dan telah banyak di soroti oleh para pakar dan peneliti dewasa ini

Ability grouping adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa di lakukan pada pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas dalam satu sekolah. Jadi, di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan kelompok lemah. Atau ada kelas-kelas unggulan dan ada pula kelas –kelas berbelakang di dalam satu sekolah. Praktik-praktik ini malah sering menjadi kebiasaan yang di banggakan di beberapa sekolah unggulan di Indonesia ataupun di luar negeri yang ingin menonjolkan kelas khusus mereka yang terdiri dari anak-anak cerdas dan berbakat.

Di balik segala manfaatnya, pengelompokan homogen ternyata mempunyai banyak dampak negatif. Para pakar dan peneliti pendidikan mulai menyoroti praktik ini dalam dekade terakhir dan menyarankan agar praktik ini tidak di teruskan lagi karena dampak negatifnya. Yang pertama-tama, praktik ini jelas bertentangan denga misi pendidikan. Pengelompokan berdasarkan kemampuan sama dengan pemberikan cap. atau label pada tiap-tiap peserta didik. Label ini bisa menjadi vonis yang di berikan terlalu dini, terutama bagi peserta didik yang di masukkan dalam kelompok yang kurang mampu. Padahal, penilaian guru pada saat membuat keputusan dalam pengelompokan belum tentu benar dan tidak mingkin bisa mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya dan menyeluruh. Label ini juga bisa menjadi self-fullfilling prophecy (ramalan yang menjadi kenyataan).Karena di masukkan dalam kelompok yang lemah,seorang siswa bisa merasa tidak mampuh, patah semangat, dan tidak mau berusa lagi.

Yang kedua, pakar pendidikan John Dewey mengatakan bahwa sekolah seharusnya menjadi miniatur masyarakat.Oleh karena itu,sekolah atau ruang kelas sejauh mungkin perlu mencerminkan keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam masyasrakat, berbagai macam manusia dengan tingkatan kemampuan dan keterbatasan yang berbeda-beda saling berinteraksi, bersaing, dan bekerja sama. Selama masa pendidikan sekolah, seorang peserta didik perlu di persiapkan untuk menghadapi kenyataan dalam masyarakat ini.

Menurut Scott Gordon dalam bukunya History and Phisolophy of Social Science (1991), pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Namun, pengelompokan dengan orang lain yang sepadan dan serupa ini bisa nmenghilangkan kesempatan anggota kelompok untuk memperluas dan memperkaya diri, karena dalam kelompok homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses berpikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang.

Pengelompokan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam metode pembelajaran cooperative learning. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran cooperative learning biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.

Secara umum, kelompok heterogen disukai oleh para guru yang telah memakai metode pembelajaran cooperative learning karena beberapa alasan. Pertama, kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antara, agama, etnik, dan gender. Terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang.

Salah satu kendala yang mungkin dihadapi guru dalam hal pengelompokan heterogen adalah keberatan dari pihak siswa yang berkemampuan akademis tinggi (atau orang tua mereka pada tingkat sekolah dasar). Siswa dari kelompok ini bisa merasa “rugi” dan dimanfaatkan tanpa bisa mengambil manfaat apa-apa dalam kegiatan belajar cooperatve learning karena rekan-rekan mereka dalam kelompok tidak lebih pandai dari mereka. Tidak jarang, protes ini juga disampaikan kepada guru baik secara langsung maupun tidak. Kepada siswa ataupun orang tua semacam ini, perlu dijelaskan bahwa sebenarnya siswa dengan kemampuan akamis tinggi pun akan menarik manfaat secara kognitif atau efektif dalam kegiatan belajar Cooperative Learning bersama siswa lain dengan kemampuan yang kurang. Mengajar adalah guru yang terbaik. Dengan mengajarkan apa yang seseorang baru pelajari, dia akan lebih bisa menguasai atau menginternalisasi pengetahuan dan keterampilan barunya. Secara efektif, siswa berkemampuan akademis tinggi juga perlu melatih diri untuk bisa bekerja sama dan berbagi dengan mereka yang kurang.kemampuan bekerja sama ini akan sangat bermanfaat nantinya dalam dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat.

Jumlah anggota dalam satu kelompok bervariasi mulai dari 2 sampai dengan 5, menurut kesukaan guru dan kepentingan tugas . Tentu saja, masing-masing mempunyai kekurangannya.

Kelompok Berpasangan

Kelebihan:

  • meningkatkan partisipasi akan cocok untuk tugas sederhana
  • lebih banyak kesempatan untuk konstribusi masing-masing anggota kelompok
  • interaksi lebih mudah
  • lebih mudah dan cepat membentuknya.

Kekurangan:

· banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor

· lebih sedikit ide yang muncul

· jika ada perselisihan,tidak ada penengah

Kelompok Bertiga

kelebihan :

  • Jumlah ganjil ;ada penengah
  • Lebih banyak kesempatan untuk konstribusi
  • masing-masing anggota kelompok
  • Intraksi lebih mudah

Kekurangan:

· Banyak kelompok yang akan melapor dan dimonitor

· Lebih sedikit ide yang muncul

· Lebih mudah dan cepat membentuknya

Kelompok Berempat

kelebihan :

  • Mudah dipecah menjadi berpasangan
  • Lebih banyak muncul
  • Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan
  • Guru mudah memonitor

Kekurangan:

· Membutuhkan lebih banyak waktu

· Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik

· Jumlah genap bisa menyulitkan proses pengambilan suara

· Kurang kesempatan untuk mentribusiin individu

· Siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak memperhatikan

Kelompok Berlima

kelebihan :

  • Jumlah ganjil memudahkan proses pengambilan suara Lebih banyak muncul
  • Lebih banyak tugas yang Bisa dilakukan
  • Guru mudah memonitor Konstribusi.
  • Membutuhkan lebih banyak waktu

Kekurangan:

· Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik

· Siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak

memperhatikan

· Kurang kesempatan untuk individu

b. Semangat Gotong Royong

Agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran gotong royong,masing-masing anggota kelompok perlu mempunyai semangat gotong royong.Seperti dijelaskan didepan,semangat ini tidak diperoleh dalam sekejap.Semangat gotong royong ini bisa dirasakan dengan Pembina niat dan kiat siswa dalam bekerja sama dengan siswa-siswa yang lainnya.

Niat siswa bisa di bina dengan beberapa kegiatan yang bisa membuat relasi masing-masing anggota kelompok lebih erat yakni kesamaan kelompok, identitas kelompok, sapaan dan sorak kelompok.

1) Kesamaan Kelompok

Kelompok akan yang mereka bersatu jika mereka bisa menyadari kesamaan yang mereka punyai.Kesamaan ini tidak berarti menyeragamkan semua keinginan, minat, dan kemampuan anggota kelompok. Justru untuk bisa melihat persamaan yang mereka punyai, masing-masing anggota kelompok harus bisa melihat rekan-rekannya yang lain terlebih dahulu. Beberapa kegiatan bisa dilakukan untuk memberi kesempatan kepada para siswa agar lebih mengenal satu sama lain dengan lebih baik dan akrab. Merasa diri mengenal dan diterima oleh kelompoknya merupakan hal yang sangat penting bagi terlaksananya kerja sama dalam kelompok.

(1) Wawancara kelompok

siswa bisa mewawancarai satu sama lain mengenai banyak hal, seperti arti nama mereka, cita-cita dan impian, saudara, makanan kesukaan, jenis olahraga kesukaan, binatang peliharaan, dan sebagainya. Jika perlu, guru juga bisa mengarahkan siswa dengan jenis pertanyaan yang bisa dipakai dalam wawancara.

Dalam kegiatan ini, siswa saling memperkenalkan temanya setelah melakukan kegiatan yang pertama (wawancara kelompok). Anggota kelompok duduk melingkar. Salah satu siswa mulai dengan memperkenalkan teman yang duduk disebelah kirinya. Misalnya,’ini ferippa. Dia suka makan bakmi. Dia mengagumi Marie Currie.’ Demikian seterusnya.

(2) Lempar Bola

Anggota kelompok duduk melingkar. Salah satu siswa memegang bola kecil (bisa juga dibuat dari meremas kertas buram ) dan melemparkanya kesalah satu temanya. Setelah melempar, siswa tersebut menanyakan beberapa hal, misalnya’ siapa tokoh yang paling kamu kagumi?’ setelah siswa kedua menjawab, dia akan melempar bola ketemanya yang lain dan menanyakan. Demikian seterusnya.

(3) Jendela kesamaan

Dibalik semua keunikan dan perbedaan masing-masing siswa yang harus dihargai, pasti ada beberapa persamaan diantara mereka dalam satu kelompok setelah kegiatan-kegiatan perkenalan, para anggota kelompok bisa mencari kesamaan diantara mereka proses ini bisa dilaksanan untuk mencari identitas kelompok masing-masing kelompok bisa mencari kesamaan dalam kelompo mereka sendiri yang tidak dimili oleh kelompok yang lain. Salah satu kegiatan untuk mencari kesamaan ini adalah jendela kesamaan (kagan,1992)

Kegiatan ini bisa dilakukan dalam kelompok berempat salah satu siswa menggambar empat persegi panjang ditengah-tengah selebar kertas. Siswa kedua menarik garis dari sudut dihubungkan ke empat bagian diberi no 1,2,3,dan 4.

Siswa pertama mulai dengan menanyakan sesuatu yanmg mungkun menjadi kesamaan dalam kelompok mereka misalnya, ‘apakah kita semua suka bermain laying-layang?’ jika keempat anggota kelompok menjawab ‘ya,’ siswa yang menanyakan menuliskan,’ main layang-layang’ dibagian 4. jika hanya dua anggota kelompok menjawab’ ya,’ siswa menuliskanya dibagian 2. Kemudian, siswa kedua mengajukan pertanyaan lain yang mungkin menjadi kesamaan mereka dan melakukan yang sama seperti diatas. Proses diteruskan sampai mereka menemukan beberapa kesamaan. Selanjutnya, mereka menentukan satu kesamaan yang tidak dipunyai oleh kelompok lain dan menuliskan kesaamaan ini sebagai identitas kesatuan mereka dalam bagian tengah kertas (empat persegi panjang).

(2) Identitas kelompok

Berdasarkan kesamaan mereka, kelompok bisa merundingkan nama yang tepat untuk kelompok mereka misalnya, “Albert Einsten Bermain Layang-Layang. “Setiap anggota kelompok harus dimintai pendapat dan keputusan tidak boleh dibuat jika ada yang tidak setuju dengan nama yang dipilih.

(3). sapaan dan sorak kelompok

Untuk lebih mempererat hubungan dalam kelompok, siswa bisa disuruh menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok. Menyapa tidak harus dengan berjabat tangan. Siswa bisa didorong mengembangkan kreativitas mereka dengan menciptakan cara menyapa rekan-rekan dalam satu kelompok yang disesuaikan dengan identitas kelompok mereka. Demikian pula dengan sorak kelompok. Siswa bisa membuat ungkapan sederhana namun meriah, misalnya’ hebat…hebat…hebat…sehebat Einstein!’

Sapaan dan sorak kelompok ini bisa dipakai berulang-ulang selama tahun ajaran untuk beberapa keperluan. Kelompok bisa memberi semangat salah satu rekanya yang dipanggil maju oleh guru. Ada kalanya pula suasana kel;as menjadi jenuh dan membosankan. Dalam saat-saat seperti ini, guru bisa membangunkan siswa-siswa yang mengantuk dan menghidupkan semangat belajar siswa dengan meluangkan beberapa detik saja untuk sapaan dan sorak kelompok.

2) Penataan Ruang Kelas

Dalam metode pembelajaraan Cooperative Learning penataan ruang kelas perlu memperhatikan prinsip-prinsip tertentu. Bangku perlu ditata sedemikian rupa sehingga semua siswa bisa melihat guru/papan tulis dengan jelas, bisa melihat rekan-rekan kelompoknya dengan baik, dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata kelompok bisa dekat satu sama lain , tetapi tidak menggangu kelompok yang lain dan guru bisa menyediakan sedikit ruang kosong disalah satu bagian kelas untuk kegiatan lain.

3. Teknik-Teknik Pembelajaran Cooperative Learning

Berbagai teknik pembelajaran cooperative learning dipaparkan di bawah ini. Teknik-teknik yang dipaparkan di bawah ini bisa dipakai berulang-ulang dengan berbagai bahan pelajaran, situasi, ataupun siswa.

a. Mencari Pasangan

Apa itu mencari Pasangan?

Teknik belajar mengajar mencari pasangan {Make a match} di kembangkan oleh lorna Curran {1994}. Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

b. Bertukar pasangan

Apa itu bertukar Pasangan?

Teknik belejar mengajar bertukar pasangan memberi siswa kesempatan untuk bekerja sama dangan orang lain.Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik

c. Berpikir-Berpasangan-Berempat

Apa itu Berpikir-Berpasangan-Berempat?

Teknik belajar mengajar Berpikir – Berpasangan - Berempat dikembangkan oleh Frank Lyman {Think-Pair-Share} dan spencer kagan {Think-Pair-Square} sebagai struktur

Kegiatan pembelajaran cooperative learning. Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa.Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas,teknik Berpikir-Berpasangan-Berempat ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lsbih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukan partisipasi mereka kepada orang lain.

Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

d. Berkirim salam dan Soal

Apa itu berkirim salam dan soal?

Teknik belajar mengajar berkirim salam dan soal memberi siswa kesempatan untuk melatih pengetahuan dan ketermpilan mereka.Siswa membuat pertanyaan sendiri sehingga akana merasa lebih terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh teman sekelasnya.

Kegiatan berkirim salam dan soal cocok untuk persiapan menjelang tes dan ujian. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

e. Kepala Bernomor

Apa itu Kepala Bernomor?

Teknik belajar mengajar Kepala Bernomor{Numbered Heads} dikembangkan oleh spencer kagan (1992). Teknik ini diberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

f. Kepala Bernomor Terstruktur

Apa itu kepala Bernomor Terstruktur?

Penulis mengembangkan teknik belajar mengajar Kepala Bernomor Terstruktur sebagai modifikasi kepala Bernomor yang dipakai oleh spencer kagan. Teknik Kepala Bernomor Terstruktur ini memudahkan pembagian tugas. Dengan teknik ini, siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dalam saling keterkaitan dengan rekan-rekan kelompoknya. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

g. Dua Tinggal Dua Tamu

Apa itu Dua Tinggal Dua Tamu?

Teknik belajar mengajar Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray) dikembangkan oleh spencer kagan (1992) dan bisa digunakan bersama dengan teknik kepala Bernomor. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Struktur Dua Tinggal Dua Tamu memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal dalam kenyataan hidup diluar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satun dengan yang lainya. Christophorus Columbus tidak akan menemukan benua Amerika jika tidak bergerak oleh penemuan Galileo Galilei yang menyatakan bahwa bumi itu bulat. Einstein pun mendasarkan teori-teorinya pada teori Newton

h. Keliling Kelompok

Apa itu Keliling kelompok?

Teknik bagian belajar mengajar Keliling Kelompok bis adigunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik

Dalam kegiatan Keliling Kelompok, masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain.

i. Kancing Gemerincing

Apa itu kancing Gemerincing?

Teknik belajar mengajar Kancing Gemerincing dikembangkan oleh spencer kagan (1992). Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Dalam Kegiatan Kancing Gumerincing, masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak kelompok, sering ada anggota yang terlaludominan dan banyak bicara. Sebaliknya, juga ada anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekanya yang lebih dominant. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok mbisa tidak tercapai karena anggota yang pasif akan terlalu menggantungkan diri apa rekanya yang dominan. Teknik belajar mengajar Kancing Gumerincing bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berperan serta.

j. Keliling Kelas

Apa itu keliling kelas ?

Teknik belajar mengajar Keliling Kelasbisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Namun, jika digunakan untuk anak-anak tingkat dasar. Teknik ini perlu disertai dengan manajemen kelas yang baik supaya tidak terjadi kegaduhan.

Dalam kegioatan Keliling Kelas, masing-masing kelompok mendapoatkan kesematan untuk memamerkan hasil kerja mereka dan melihat hasil kerja kelompok lain.

k. Lingkaran Kecil Lingkaran besar

Apa itu Lingkaran Kecil Lingkaran Besar?

Teknik mengajar Lingkaran Kecil Lingkaran Besar (Inside Outside Circle) dikembangkan oleh spencer kagan untuk memberikan kesempatan pada siswa agar saling berbagi informasio pada saat yang bersamaan. Pendekatan ini bisa digunakan dalam berbagai macam mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan social, agama, matematika, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini adalah bahan yang membutuhkan pertukaran pikiran dan informasi antar siswa.

Sakah satu keunggulan teknik ini adalah adanya struktur yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi dangan pasangan yang jelas berbeda dengan singkat dan teratur. Selain itu, siswa bekerja dengan sesame siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Lingkaran Kecil Lingkaran Besar bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik dan sangat disukai, terutama oleh anak-anak.

l.Tari Bambu

Apa itu Tari Bambu?

Teknik ini diberi nama Tari Bambu, karena siswa berjajar dan saliung berhadapan dan model yang mirip seperti dua potong bamboo yang digunakan dalam tari bamboo Filipina yang juga popular di beberapa daerah di Indonesia. Dalam kegiatan belajar mengajar dengan teknik ini, siswa saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan. Pendekatan ini bisa digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan sosial, agama, matematika, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini adalah bahan yang membutuhkan pertukaran pengalaman, pikiran, dan informasi antar siswa.

Salah satu keunggulan dari teknik ini adalah adanya struktur yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi ndengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan dan teratur. Siswa bekerja dengan sesame siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasidan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Tari Bambu bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik

m. Jigsaw

Apa itu jigsaw?

Teknik mengajar jigsaw di kembangkan oleh aronson et al. Sebagai metode cooperative learning. Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca,menulis,mendengarkan dan berbicara. Pendekatan ini bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa.Teknik ini cocok untuk semua kelas / tingkatan.

Dalam teknik ini,guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna.Selain itu,siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

n. Bercerita Berpasangan

Apa itu Bercerita Berpasangan?

Teknik mengajar Bercerita Berpasangan {Paired Storytelling} dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, mengajar, dan bahan pelajaran {Lie,1994}. Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca,menulis, mendengarkan ,dan berbicara. Pendekatan ini bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan sosial, agama, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan tenik ini adalah bahan yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dipakainya bahan-bahan yang lainnya.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna.Dalam kegiatan ini,siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi.buah-buah pemikiran mereka akan dihargai sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Bercerita berpasangan bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.

4. Model Evaluasi Belajar Cooperative Learning

Alternatif lain yang perlu ditambahkan untuk mengimbangi atau mengganti sistem peringkat adalah sistem pendidikan cooperative learning. Sistem ini menganut falsafah homo homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan saling ketergantungan antar makhluk hidup.

Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tak akan ada individu, keluarga, warganisasi, atau masyarakat. Tanpa kerja sama, keseimbangan lingkungan hidup akan terancam punah.

Ironisnya, model evaluasi cooperative learning belum banyak diterapkan dalam dunia pendidikan kita walaupun kita sering membanggakan nilai-nilai gotong royong dalam budaya bangsa Indonesia.Kebanyakan guru enggan menerapkan sistem kerja kelompok karena beberapa alasan. Salah satunya adalah penilaian yang dianggap kurang adil. Siswa yang tekun dan pandai merasa dirugikan karena temannya yang kurang mampu dan berusaha hanya nunut pada hasil jerih payah mereka, sedangkan siswa yang kurang mampu, merasa seperti benalu.

Sebenarnya, ketidakadilan ini tidak perlu terjadi dalam kerja kelompok jika guru benar-benar menerapkan prosedur sistem pengajaran/penilaian Coomperative Learning. Dalam buku yang berjudul coomperative learning, rogen dan David Johnson mengatakan tidak semua kerja kelompok bisa dianggap coomperative learning. Ada beberapa prosedur dan unsur yang harus diterapkan dalam sistem pengajaran coomperative learning. Di antaranya adalah tanggung jawab pribadi dan kesaling tergantungan positif.

Dalam penilaian, siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. Siswa bekerja sama dengan metode coomperative learning. Mereka saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk tes. Kemudian, masing-masing mengerjakan tes sendiri-sendiri dan menerima nilai pribadi.

Nilai kelompok bisa dibentuk dengan beberapa cara. Pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh siswa dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok juga bisa diambil dari rata-rata nilai semua anggota kelompok, dari’ sumbangan’ setiap anggota. Kelebihan kedua cara tersebut adalah semangat gotong royong yang ditanamkan. Dngan cara ini, kelompok bisa berusaha lebih keras untuk membantu semua anggota dalam mempersiapkan diri untuk tes. Namun ,kekurangannya adalah perasaan negatif dan tadak adil siswa yang mampu akan merasa dirugikan oleh nilai rekannya yang rendah,sedangkan siswa yang lemah mungkin bisa merasa bersalah karena sumbangan nilainya paling rendah.

Untuk menjaga rasa keadilan ada cara lain yang bisa dipilih.Setiap anggota menyumbangkan poin di atas nilai rata-rata mereka sendiri.misalnya, nilai rata-rata si A adalah 60 dan kali ini dia mendapat 65, dia akan menyumbangkan 5 poin untuk kelompok. Ini berarti setiap siswa, pandai ataupun lamban, mempunyai kesempatan untuk

Memberikan kontribusi. Siswa lambab tak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka karena mereka juga bisa memberikan sumbangan. Malahan mereka akan merasa terpacu untuk meningkatkan kontribusi mereka dan dengan demikian menaikan nilai pribadi mereka sendiri.

Metode pembelajaran dan penilaian gotong royong perlu lebih sering dipakai dalam dunia pendidikan. Agar bisa kondusif bagi proses pendewasaan dan pengembangan siswa, sistem belajar perlu memperhatikan pula aspek-aspek afektif. Sistem pringkat hanya menekankan pada hasil belajar yang bersifat kognitif, sedangkan sistem individu mulai memperhatikan aspek afektif untuk mencapai hasil-hasil kognitif. Namun patut disadari sistem individu ini bisa membawa dampak afektif lainnya. Sistem pendidikan gotong royong merupakan alternatif menarik yang bisa mencegah tumbuhnya keagresifan dalam sistem kompotisi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan asfek kognitif.

C. Simpulan

Seperti kata pakar pendidikan, Jhon Dewey, sekolah merupakan miniatur masyarakat. Banyak nilai yang didapatkan sesorang siswa dalam ruang kelas akan terbawa terus dan tercemin terus dalam tindakan orang tersebut dalam kehidupan bermasyarakatnya. Berdasarkan asumsi ini, dapat disimpulkan seorang pengajar mempunyai peranan yang sangat besar ikut membina kepribadian anak didiknya. Sudah saatnya para pengajar mengevaluasi cara pengajaran mereka dan menyadari dampaknya. Sampai saat ini, metode pembelajaran cooperative learning belum banyak diterapkan di sekolah. Jika sekolah juga bertujuan untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya, metode pembelajaran cooperative learning perlu lebih sering dipakai.

Selain itu, suasana positif yang timbul dari metode pembelajaran cooperative learning bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran dan sekolah/guru. Dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan ini, siswa merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.

Daftar Pustaka

Depdiknas.2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra

Indonesia: Buku 1. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas.2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra Indonesia: Buku 3. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas.2008. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik

Pengembangan KTSP. Jakarta: BP. Putra Bhakti Mandiri.

Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooverative

Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Soemanto, Wasty.1998. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin

Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.